Masuknya Teh di Nusantara
Di balik indahnya hamparan hijau perkebunan teh yang kita nikmati saat ini, tersimpan nilai sejarah yang kuat. Ada kisah panjang yang dilalui tanaman perdu ini hingga menjadi “emas hijau” yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Sejarah panjang teh di Indonesia berawal dari masuknya tanaman teh (Camellia Sinensis) yang berupa biji dari Jepang ke Indonesia pada tahun 1684. Teh dibawa ke Jakarta (Batavia) oleh Andreas Cleyer, seorang dokter, pengajar, ahli botani serta saudagar di VOC yang berkebangsaan Jerman.
Kala itu teh hanya sebagai tanaman hias, belum diperdagangkan. Pendeta F. Valentijn pada 1694 melaporkan melihat perdu teh muda dari China yang tumbuh di Taman Istana Gubernur Jendral Champhuys di Jakarta.
Teh baru mendapat perhatian pemerintah kolonial pada tahun 1728 dengan mendatangkan biji teh dari China dalam jumlah banyak. Namun, usaha ini kurang berhasil.
Hampir seabad kemudian, pada tahun 1824, Pemerintah Hindia Belanda mengutus Ph F Von Siebold membawa berbagai jenis tanaman. Staf Perwakilan Belanda di Jepang tersebut juga mengenalkan usaha pembudidayaan teh dengan bibit asal Jepang.
Hingga pada tahun 1826 tanaman teh berhasil ditanam untuk melengkapi koleksi Kebun Raya Bogor. Setahun kemudian, teh ditanam di Kebun Percobaan Cisurupan (Garut) dan Wanayasa (Purwakarta), Jawa Barat.
Tertarik dengan keberhasilan perdagangan teh dari Tiongkok, Jepang, dan Taiwan di Pasar Eropa, Pemerintah Kolonial Belanda mengirim Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson untuk belajar pengolahan teh di Tiongkok. Merujuk pada buku “Kisah Para Preanger Planters (Suganda, 2014)”, ahli dan pakar penguji teh dari Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) tersebut kembali ke Batavia dengan membawa 7 juta biji bibit teh dan 15 orang Tionghoa Makau sebagai buruh perkebunan yang direncanakan.
Wilayah Priangan tengah dipilih menjadi perkebunan teh. Udara sejuk dan topografi pegunungan pada ketinggian 500 sampai 1.000 meter cocok untuk habitat tanaman ini.
Berhasilnya penanaman percobaan skala besar di Wanayasa (Purwakarta) dan di Raung (Banyuwangi) membuka jalan bagi J.I.L.L Jacobson meletakkan landasan bagi usaha perkebunan teh di Jawa.
Selain di Priangan, sejak 1833 Jacobson yang sudah menjadi Inspektur Bidang Tanaman Teh, mengembangkan tanaman teh lebih luas lagi. Diantaranya di Batavia, Karawang, Banten, Cirebon, dan beberapa daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Hingga pada tahun 1835, hasil teh dari Nusantara mulai diangkut ke negeri Belanda sebanyak 200 peti dan pertama kalinya diikutkan pelelangan teh Amsterdam. Teh dari Jawa ini merupakan teh pertama di luar Cina yang masuk pasar Eropa. Semenjak itulah, teh Indonesia mulai dikenal bangsa-bangsa di dunia dan mengharumkan nama Nusantara.
Cultuurstelsel
Teh menjadi salah satu tanaman yang wajib ditanam oleh rakyat melalui politik CultuurStelsel (1830). Rakyat dipaksa menanam teh di tanah milik sendiri atau sewaan dan ketika panen akan dibeli oleh Belanda untuk mengisi pundi-pundinya.
Sejak saat itu teh menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Hingga tahun 1841, luas kebun teh di Jawa ada 2.129 hektar. Lima tahun kemudian, luasnya meningkat menjadi 3.193 hektar .
Masa tanam paksa ini berakhir tahun 1870 setelah pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan liberalisasi ekonomi dengan berlakunya Undang-Undang Agraria. Pemberlakuan Undang-Undang ini mengubah Priangan menjadi daerah tambang “emas hijau”. Inilah awal tonggak keberhasilan pengusaha perkebunan.
Selepas masa program tanam paksa, banyak tanah di Indonesia disewakan kepada para pengusaha teh Belanda. Sejumlah pabrik pengolahan teh pun mulai didirikan untuk mengimbangi perkebunan teh yang semakin banyak.
Kemajuan penanaman teh di Indonesia terjadi sesudah tahun 1877, setelah didatangkan varietas Assam dari Ceylon (Sri Lanka). Tanaman teh mempunyai arti penting karena menyumbang devisa cukup besar bagi perekonomian Indonesia saat itu.
Pionir Preanger Planters
Berkembangnya perkebunan teh, khususnya di tanah Priangan tidak bisa dilepaskan dari jerih payah dinasti The Hunderian, yang melahirkan keluarga Holle, Kerkhoven, dan Bosscha. Kerja keras ketiga trah yang saling berkerabat ini hingga menjadi pengusaha perkebunan ini disebut Preanger Plannters dan menjadi cikal bakal industri teh di Indonesia.
Kisah panjang Preanger Planters ini berawal dari berlayarnya keluarga Guillaume Louis Jaques (Willem) van der Hucht dan Pietter Holle dari Belanda menuju ke Indonesia dengan menggunakan kapal ‘Sara Johanna’ di tahun 1843. Van Der Hucht membawa istri dan dua anaknya. Adapun Pietter Holle (adik ipar) membawa Alexandrine van der Hucht istrinya dan keenam anaknya yaitu Karel Frederik (KF) Holle, Adriaan Walvaren (AW) Holle, Albert Holle, Herman Holle, Albertine Holle, dan Caroline Holle). Setelah lima bulan melalui perjalanan, mereka tiba di Batavia pada tahun 1844.
Pada tahun itu pula Willem van der Hucht membuka perkebunan teh yang pertama di Parakan Salak, lereng Gunung Gede, Sukabumi. Disusul kemudian mengontrak perkebunan teh Sinagar yang letaknya tidak berjauhan. Kedua perkebunan teh tersebut dikelola dengan baik dan menghasilkan produksi teh terbaik di pasar Internasional Amsterdam, Belanda.
Willem van der Hucht, memutuskan kembali ke Belanda setelah 15 tahun mengelola perkebunan. Sang pionir Preanger Planters tersebut meninggal tahun 1874. Sekembalinya Willem ke Belanda, pengelolaan perkebunan diserahkan kepada Adriaan Walvaren (AW) Holle dan Albert Holle (adik AW Holle) . Di tangan para keponakannya tersebut, perkebunan Parakan Salak dan Sinagar menjadi terkenal.
Tahun 1860 AW Holle diserahi mengelola Parakan Salak. Sementara perkebunan Sinagar diserahkan kepada Albert Holle (adik AW Holle) dan Eduard Julius (EJ) Kerkhoven yang datang kemudian.
Di tangan AW Holle perkebunan teh Parakan Salak berkembang pesat. Hingga pada akhir abad ke-19, perkebunan Parakan Salak menjadi salah satu perkebunan yang patut diperhitungkan di kancah internasional. AW Holle juga dikenal memiliki minat yang besar pada kesenian Sunda. Salah satunya ia piawai memainkan rebab, alat musik gesek dua dawai khas Sunda. Ia juga kerap menabuh gamelan bersama buruh perkebunan. Perangkat gamelan yang bernama “Sari Oneng” menjadi alat promosi teh priangan dalam pameran teh dunia di Eropa dan Amerika Serikat. Gamelan “Sari Oneng” ini juga ditampilkan dalam peresmian Menara Eiffel, Paris tahun 1889.
Keponakan Willem van der Hucht yang lain, Karel Frederik (KF) Holle, tahun 1862 membuka perkebunan teh dan kina Waspada di kaki Gunung Cikuray, Garut. Di perkebunan ini, ia menjadi administratur sejak tahun 1866 – 1889. Kedekatannya dengan penguasa dan masyarakat pribumi membuat KF Holle mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan kebudayaan Sunda. Sebagai tanda jasa, pada 1899 dibangun tugu KF Holle di alun-alun Kota Garut. Sementara itu sepupunya, Rudolph Albert (RA) Kerkhoven dan keluarganya tahun 1866 menyusul ke Batavia dengan berlayar menggunakan kapal Eva Johana. Sempat menetap di rumah janda mendiang Pieter Holle di Batavia, sebelum akhirnya pindah ke Bandung.
Berkat hubungan baik KF Holle dengan penguasa pribumi, RA Kerkhoven berhasil membuka perkebunan di Arjasari yang terletak di Bandung Selatan. Perkebunan Arjasari yang masih merupakan hutan belantara dan banyak binatang buas itu dikontrak sejak tahun 1869.
Di antara kelima anak RA Kerkhoven, hanya Rudolph Eduard (RE) Kerkhoven yang meneruskan usaha perkebunan teh dengan mendirikan perkebunan teh Gambung, di kaki Gunung Tilu, Ciwidey, Bandung Selatan pada tahun 1873. Perkebunan Gambung sebelumnya merupakan perkebunan kopi yang ditelantarkan.
Selain perkebunan gambung, tahun 1840 E. Blink membuka tanah hutan di daerah Pagilaran Batang Jawa Tengah, kemudian ditanami dengan tanaman kina dan kopi. Ternyata hasil yang diperoleh kurang menggembirakan. Untuk itu pada tahun 1899, diganti dengan tanaman teh. Ternyata hasilnya lebih baik karena keadaan alam dan tanah di daerah Pagilaran sesuai untuk budidaya tanaman teh.
Sejak masih kuliah di Politeknik Delft, RE Kerkhoven sudah menyiapkan diri untuk terjun mengelola perkebunan di Hindia Belanda. Di tangannya Gambung mencapai masa keemasan. Perkebunan ini dinasionalisasi pemerintah pada tahun 1959. Perkebunan Gambung pada 1973 dijadikan Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) di bawah Departemen Pertanian.
RE Kerkhoven menikah dengan Jenny Elisabeth Henriette Roosgaarde Bisschop, cicit Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Salah satu dari kelima anaknya yaitu si sulung Rudolf Albert (RA) Kerkhoven, yang meneruskan usaha perkebunan teh di perkebunan Malabar, bekerja sama dengan pamannya KAR Bosscha yang menjadi administratur perkebunan tersebut pada tahun 1890. RE Kerkhoven meninggal dalam usia 59 tahun pada tahun 1918 dan dimakamkan di perkebunan Gambung yang dibesarkannya.
Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha adalah sepupu RE Kerkhoven, yang diangkat menjadi administratur perkebunan teh di Malabar, ketika RE Kerkhoven mendirikan NV Assam Thee Onderneming Malabar. Selama menjadi administratur, Bosscha banyak melakukan inovasi dan perubahan.
Perkebunan teh Malabar dilengkapi dengan perumahan untuk pekerja perkebunan, sekolah rakyat, dan pabrik pengolahan. Bosscha juga mendirikan pusat listrik tenaga air Cilaki yang memanfaatkan sumber air Sungai Cilaki untuk penerangan dan menggerakkan mesin pabrik.
Kerja keras Bosscha membuat perkebunan Malabar maju dan merangsang pekebun lainnya mengembangkan tanaman teh. Berkat jerih payahnya mengembangkan kultur jaringan teh, Bosscha dijuluki “Raja Teh Priangan”.
Makam Karel Albert Rudolf Bosscha di Malabar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Bosscha mendirikan Perkebunan Teh Malabar dan menjadi juragan seluruh perkebunan teh di Kecamatan Pangalengan. Selama 32 tahun masa jabatannya di perkebunan teh ini, ia telah mendirikan dua pabrik teh, yaitu Pabrik Teh Malabar yang saat ini dikenal dengan nama Gedung Olahraga Gelora Dinamika dan juga Pabrik Teh Tanara yang saat ini dikenal dengan nama Pabrik Teh Malabar.
Bosscha juga dikenal sebagai filantropis. Sumbangannya selain teh antara lain pembangunan peneropong bintang di Lembang, Bandung tahun 1920 yang dikenal dengan Observatorium Bosscha, membangun Technische Hogerschool yang kelak menjadi Institut Teknologi Bandung, dan sumbangan pada perkembangan kota Bandung lainnya.
Setelah 30 tahun mengembangkan perkebunan teh Malabar, pada tanggal 26 November 1928 Bosscha meninggal dunia dan dimakamkan di Perkebunan Teh Malabar. Bosscha yang dikenal murah hati dan dekat dengan buruh perkebunan itu membuat namanya tetap melegenda.
Budidaya teh di Indonesia pun tak lagi berpusat di tanah Jawa saja tetapi juga berkembang hingga ke Pulau Sumatera.
Masa Pendudukan Jepang
Masa pendudukan Jepang menjadi titik kemunduran industri teh di Indonesia. Meski sempat menaruh perhatian, Jepang akhirnya tidak memandang teh sebagai prioritas. Ancaman perang dunia memaksa industri teh harus disubstitusi dengan unit produksi lainnya.
Perhatian Jepang terhadap perkebunan teh pada awalnya terlihat dari pembentukan Saibai Kigyo Kanri Koodan (SKKK). Badan ini dibentuk pada 5 Juli 1942 yang bertugas untuk mengambil alih penguasaan perkebunan teh pada beberapa wilayah di Indonesia.
Namun, lembaga ini dibubarkan dan pengusahaan perkebunan diberikan kepada pihak swasta yang tergabung dalam Saibai Kigyo Rengokai (SKR). Pembubaran lembaga tersebut juga diikuti oleh merosotnya budidaya teh di Indonesia. Perkebunan teh skala besar hingga rakyat tidak ditangani dengan baik.
Area pemeliharaan semakin dipersempit. Perkebunan yang memiliki area di bawah 50 hektar tak lagi menerima biaya pemeliharaan. Uang pemeliharaan hanya diberikan kepada perkebunan teh yang memiliki mutu baik. Kebijakan lainnya yang dikeluarkan adalah pengurangan jumlah pabrik teh. Sebagai gambaran, tahun 1941, ada sekitar 243 pabrik teh di Jawa dengan kapasitas pengolahan 175.500 ton. Namun sejak 1943, sejumlah pabrik teh berubah fungsi untuk berbagai unit usaha seperti pabrik tekstil, kertas hingga arang kayu. Kondisi serupa juga terjadi di Pulau Sumatera. Salah satu perkebunan teh yang dibongkar oleh Jepang terletak di lereng utara Gunung Kerinci. Dari luas area perkebunan 1.722 hektar, 22 persen atau 379 hektar di antaranya tak lagi dimanfaatkan sebagai kebun teh.
Serupa, pembongkaran pabrik juga dilakukan pada wilayah Sumatera Timur. Dari 14 pabrik, 9 di antaranya tak lagi difungsikan sebagai pabrik teh.
Sepanjang zaman pendudukan Jepang, luas area perkebunan teh secara keseluruhan mengalami penurunan. Mengutip pada penelitian “Teh: Kajian Sosial Ekonomi (Setiawati, 1991), pada tahun 1942 luas area teh yang diusahakan mencapai 104.481 hektar dan 68.545 hektar di antaranya dilaporkan secara teratur. Sementara pada tahun 1945, luas area teh yang ditanam tercatat hanya mencapai 53.648 hektar. Artinya, jumlah area kebun teh yang dilaporkan secara teratur berkurang hingga 22 persen.
Teh pada masa Periode Kemerdekaan
Memasuki era kemerdekaan, industri teh mencoba bangkit, terutama setelah nasionalisasi tahun 1959 menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Namun, luas area maupun produksi tanaman teh di Indonesia masih belum berhasil menyamai produksi saat era pemerintahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1971, terdapat sekitar 95.530 hektar tanaman teh. Luas tanaman teh ini menurun hingga 72 persen jika dibandingkan dengan tahun 1939 yang saat itu mencapai 343.893 hektar.
Merosotnya area perkebunan teh juga diikuti dengan menurunnya produksi teh di Indonesia. Jika pada 1939 produksi teh mencapai 150.513 ton, maka tahun 1971, produksi teh hanya mencapai 59.221 ton atau berkurang hingga 61 persen.
Upaya pemulihan industri teh pernah dilakukan pada dekade 1970-an. Saat itu, tim survei dari Commonwealth Development Corporation London didatangkan untuk melakukan studi kelayakan rehabilitasi pada kebun teh di Indonesia.
Merujuk data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, luas area dan produksi teh di Indonesia mulai menunjukkan kenaikan saat memasuki dekade 1980-an. Pada tahun 1980, terdapat 112.700 hektar kebun teh di Indonesia dengan total produksi 106.175 ton. Jumlah ini meningkat pada tahun 1990 dengan luas area 129.080 hektar dan produksi teh sebesar 155.919 ton.
Namun, memasuki era reformasi, total produksi teh terus mengalami penurunan. Menurut catatan BPS, pada tahun 2000, total produksi teh di Indonesia mencapai 162.587 ton. Jumlah ini mengalami penurunan menjadi 140.423 ton pada tahun 2017.
Penyusutan produksi terjadi di perkebunan besar milik negara. Pada tahun 2000 lalu, produksi perkebunan negara mencapai 84.132 ton. Jumlah ini turun pada tahun 2017 sebesar 37 persen menjadi 52.797 ton.
Menyusutnya area dan produksi perkebunan teh menjadi lampu kuning bagi keberlanjutan industri teh di tanah air. Tentu dibutuhkan langkah khusus agar industri teh dapat kembali menggeliat. Pasalnya, teh telah menjadi bagian dari peradaban di Indonesia.
Melalui teh, hidup sebagian kelompok masyarakat juga terpenuhi hingga saat ini. Jangan sampai “emas hijau” yang menjadi sumber kehidupan ini tak bisa lagi dinikmati oleh masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang.